animasi blog
Defender Black Blue
Selamat Datang di Blog Seputar Militer

Rabu, 28 Desember 2016

MENGANTISIPASI TANTANGAN PERANG HIBRIDA

Perang hibrida (hybrid war) adalah strategi militer yang mencampurkan perang konvensional (mengikuti aturan internasional), perang iregular (tidak sesuai aturan/pemberontakan, gerilya, dan perang narkoba), dan perang siber (teknologi informasi dan komunikasi). Berbeda dengan perang proksi (proxy war) yang meminjam tangan pihak lain. Perang hibrida mengkombinasikan operasi – operasi kinetik dengan upaya-upaya subversif, pihak agresor bermaksud untuk menghindari atribusi atau retribusi.


Atribusi berarti identifikasi yang jelas tentang aktor pelaku, sehingga menghindari atribusi berarti menampilkan ketidakjelasan tentang aktor pelaku sesungguhnya. Sedangkan retribusi berarti tindak balasan dari pihak yang diserang kepada aktor pelaku. Dengan tidak jelasnya identifikasi pelaku, otomatis tindakan pembalasan menjadi sulit untuk dilakukan.

Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk merujuk ke konsep perang hibrida, yakni : hybrid war, hybrid warfare, hybrid threat, atau hybrid adversary. Badan – badan militer Amerika cenderung bicara dalam kerangka “ancaman hibrida” (hybrid treat), sementara berbagai literatur akademik bicara tentang “perang hibrida” (hybrid warfare).

Ø  Definisi AS dan NATO
Komando Pasukan Gabungan Amerika Serikat merumuskan ancaman perang hibrida sebagai, “setiap musuh yang secara serempak dan adaptif menerapkan campuran yang disesuaikan antara cara-cara atau aktivitas-aktivitas konvensional, ireguler, terorisme, dan kriminal di ruang pertempuran operasional. Ketimbang sebagai entitas tunggal, suatu ancaman atau penantang perang hibrida mungkin merupakan kombinasi dari aktor-aktor negara dan non-negara.”

Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), mendefinisikan ancaman hibrida sebagai, “musuh-musuh yang memiliki kemampuan, untuk dengan serempak menerapkan cara-cara konvensional dan non-konvensional secara adiptif, dalam mengejar tujuan mereka.”

Tidak ada definisi perang hibrida yang diterima secara universal. Sehngga, hal ini menjadi perdebatan tentang apakah istilah itu betul-betul berguna. Beberapa kalangan mengatakan, istilah itu terlalu abstrak. Istilah itu hanya merupakan istilah terakhir, untuk merujuk ke metode-metode ireguler, atau metode yang tidak biasa, untuk menandingi kekuatan yang lebih unggul secara konvensional.

 Ø  Berbagai Aspek Perang Hibrida

1.      Pertama, musuh yang non-standar, kompleks, dan cair. Musuh hibrida bisa berupa negara maupun non-negara. Misalnya, dalam perang Israel-Hizbullah dan Perang Saudara Suriah, pihak-pihak utama yang bermusuhan adalah entitas non-negara di dalam sistem negara. Aktor-aktor non negara ini apat menjadi proksi (kepanjangan tangan) dari negara tertentu, namun mereka juga memiliki agenda-agenda tersendiri. Misalnya, Iran adalah sponsor Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Namun, insiden “penculikan tentara Israel” adalah agenda Hizbullah, dan bukan rencana Iran. Insiden inilah yang memicu perang Israel-Hizbullah.

2.      Kedua, musuh hibrida menggunakan kombinasi metode konvesional dan ireguler. Metode dan taktik itu termasuk kapabilitas konvensional, taktik-taktik ireguler, formasi-formasi ireguler, aksi teroris, kriminal, dan kekerasan tanpa pandang bulu. Musuh hibrida juga menggunakan aksi-aksi rahasia (clandestine actions) untuk menghindari atribusi dan retribusi. Metode-metode ini digunakan secara serempak di seluruh spektrum konflik dengan sebuah strategi terpadu (unified strategy).


3.      Ketiga, musuh hibrida bersifat luwes dan mampu beradaptasi secara cepat. Contohnya tanggapan ISIS terhadap kampanye pemboman besar-besaran oleh militer AS. ISIS dengan cepat mengurangi jumlah pos pemeriksaan dan penggunaan telepon seluler. Para anggota ISIS juga membaur dengan rakyat sipil, bahkan dapat dimanfaatkan ISIS sebagai alat propaganda dan perekrutan anggota baru.

4.      Keempat, musuh hibrida menggunakan sistem persenjataan canggih dan teknologi-teknologi distruptif lain. Senjata-senjata ini sekarang dapat dibeli dengan harga relatif murah dan terjangkau. Teknologi militer baru lainnya dapat disesuaikan untuk penggunaan di medan tempur termasuk teknologi jejaring seluler. Misalnya, pada 2006, pasukan Hizbullah dilengkapi senjata berteknologi tinggi, seperti rudal presisi berhasil menembak jatuh sejumlah helikopter Israel, merusak parah sebuah kapal patroli dengan rudal jelajah, dan menghancurkan ranpur lapis baja kelas berat Mekava IV, dengan penembakan rudal dari bunker tersembunyi. Hizbullah juga menggunakan pesawat tanpa awak (drone) untuk berkomunikasi.


5.      Kelima, penggunaan komunikasi dan propaganda. Pertumbuhan jejaring komunikasi massa menawarkan alat propaganda dan rekrutmen yang kuat. ISIS, misalnya, dengan piawai menggunakan berbagai media sosial untuk mempromosikan agenda dan ideologinya. Berbagai gambar menunjukkan kehebatan ISIS disebar di media sosial. Sedangkan dalam perang Israel-Hizbullah, Israel tidak kalah dalam perang di medan tempur, namun kalah di perang informasi, karena persepsi yang umum mendominasi bahwa militer Israel kalah. Hizbullah dianggap sukses bertahan melawan pasukan Israel yang berjumlah lebih besar, meski basis Hizbullah dihujani bom oleh pesawat tempur Israel.

6.      Keenam, sebuah perang hibrida terjadi pada medan perang berbeda. Yakni, medan tempur konvensional, penduduk asli yang berada di zona konflik, dan komunitas internasional. Pasukan militer tradisional umumnya merasa sulit merespons perang hibrida. Negara- negara yang menjadi bagain dari sistem pertahanan kolektif (aliansi), seperti NATO, mungkin sulit mencapai kata sepakat tentang sumber konflik yang muncul. Maka menimbulkan kesulitan untuk merespons serangan musuh hibrida.

 Ø  Contoh Perang Hibrida



Pada tahun 2014 muncul kelompok eksterm ISIS sebagai aktor non-negara memanfaatkan taktik-taktik hibrida untuk melawan pasukan militer konvensional Irak. ISIS memiliki aspirasi transisional, menggunakan taktik reguler, dan ireguler, serta menerapkan teror sebagai persenjataannya dalam konflik. Menanggapi langkah ISIS, otoritas Irak mulai beralih menggunakan taktik hibrida, dengan memanfaatkan aktor-aktor internasional dan non-negara, untuk mengimbangi gerakan ISIS.

Amerika sendiri adalah peserta hibrida dalam konflik ini, melalui kombinasi kekuatan udara tradisional, penyediaan penasihat bagi tentara-tentara Irak, pasukan Peshmerga Kurdi, milisi sekretarian, dan memberi pelatihan pasukan oposisi di Suriah.


Perang hibrida di Irak dan Suriah adalah konflik di mana terdapat kelompok aktor-aktor negara dan non-negara yang saling berkaitan (interconnected), mengejar tujuan-tujuan yang tumpang tindih, serta sebuah negara setempat yang lemah. Pasukan ini melibatkan pemerintah, pasukan oposisi, dan negara-negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungannya... Semoga Bermanfaat!!