MENGANTISIPASI
TANTANGAN PERANG HIBRIDA
Perang hibrida (hybrid war) adalah strategi militer yang mencampurkan perang
konvensional (mengikuti aturan internasional), perang iregular (tidak sesuai
aturan/pemberontakan, gerilya, dan perang narkoba), dan perang siber (teknologi
informasi dan komunikasi). Berbeda dengan perang proksi (proxy war) yang meminjam tangan pihak lain. Perang hibrida
mengkombinasikan operasi – operasi kinetik dengan upaya-upaya subversif, pihak
agresor bermaksud untuk menghindari atribusi atau retribusi.
Atribusi berarti identifikasi yang jelas
tentang aktor pelaku, sehingga menghindari atribusi berarti menampilkan
ketidakjelasan tentang aktor pelaku sesungguhnya. Sedangkan retribusi berarti
tindak balasan dari pihak yang diserang kepada aktor pelaku. Dengan tidak
jelasnya identifikasi pelaku, otomatis tindakan pembalasan menjadi sulit untuk
dilakukan.
Ada beberapa istilah yang sering
digunakan untuk merujuk ke konsep perang hibrida, yakni : hybrid war, hybrid
warfare, hybrid threat, atau hybrid adversary. Badan – badan militer Amerika
cenderung bicara dalam kerangka “ancaman hibrida” (hybrid treat), sementara
berbagai literatur akademik bicara tentang “perang hibrida” (hybrid warfare).
Ø Definisi AS dan
NATO
Komando Pasukan
Gabungan Amerika Serikat merumuskan ancaman perang hibrida sebagai, “setiap
musuh yang secara serempak dan adaptif menerapkan campuran yang disesuaikan
antara cara-cara atau aktivitas-aktivitas konvensional, ireguler, terorisme,
dan kriminal di ruang pertempuran operasional. Ketimbang sebagai entitas
tunggal, suatu ancaman atau penantang perang hibrida mungkin merupakan
kombinasi dari aktor-aktor negara dan non-negara.”
Pakta Pertahanan
Atlantik Utara (NATO), mendefinisikan ancaman hibrida sebagai, “musuh-musuh
yang memiliki kemampuan, untuk dengan serempak menerapkan cara-cara
konvensional dan non-konvensional secara adiptif, dalam mengejar tujuan mereka.”
Tidak ada definisi
perang hibrida yang diterima secara universal. Sehngga, hal ini menjadi
perdebatan tentang apakah istilah itu betul-betul berguna. Beberapa kalangan
mengatakan, istilah itu terlalu abstrak. Istilah itu hanya merupakan istilah
terakhir, untuk merujuk ke metode-metode ireguler, atau metode yang tidak
biasa, untuk menandingi kekuatan yang lebih unggul secara konvensional.
Ø Berbagai Aspek
Perang Hibrida
1.
Pertama, musuh
yang non-standar, kompleks, dan cair. Musuh hibrida bisa berupa negara maupun
non-negara. Misalnya, dalam perang Israel-Hizbullah dan Perang Saudara Suriah,
pihak-pihak utama yang bermusuhan adalah entitas non-negara di dalam sistem
negara. Aktor-aktor non negara ini apat menjadi proksi (kepanjangan tangan)
dari negara tertentu, namun mereka juga memiliki agenda-agenda tersendiri. Misalnya,
Iran adalah sponsor Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Namun, insiden “penculikan
tentara Israel” adalah agenda Hizbullah, dan bukan rencana Iran. Insiden inilah
yang memicu perang Israel-Hizbullah.
2.
Kedua, musuh
hibrida menggunakan kombinasi metode konvesional dan ireguler. Metode dan
taktik itu termasuk kapabilitas konvensional, taktik-taktik ireguler,
formasi-formasi ireguler, aksi teroris, kriminal, dan kekerasan tanpa pandang
bulu. Musuh hibrida juga menggunakan aksi-aksi rahasia (clandestine actions)
untuk menghindari atribusi dan retribusi. Metode-metode ini digunakan secara
serempak di seluruh spektrum konflik dengan sebuah strategi terpadu (unified
strategy).
3.
Ketiga, musuh
hibrida bersifat luwes dan mampu beradaptasi secara cepat. Contohnya tanggapan
ISIS terhadap kampanye pemboman besar-besaran oleh militer AS. ISIS dengan
cepat mengurangi jumlah pos pemeriksaan dan penggunaan telepon seluler. Para anggota
ISIS juga membaur dengan rakyat sipil, bahkan dapat dimanfaatkan ISIS sebagai
alat propaganda dan perekrutan anggota baru.
4.
Keempat, musuh
hibrida menggunakan sistem persenjataan canggih dan teknologi-teknologi
distruptif lain. Senjata-senjata ini sekarang dapat dibeli dengan harga relatif
murah dan terjangkau. Teknologi militer baru lainnya dapat disesuaikan untuk
penggunaan di medan tempur termasuk teknologi jejaring seluler. Misalnya, pada
2006, pasukan Hizbullah dilengkapi senjata berteknologi tinggi, seperti rudal
presisi berhasil menembak jatuh sejumlah helikopter Israel, merusak parah
sebuah kapal patroli dengan rudal jelajah, dan menghancurkan ranpur lapis baja
kelas berat Mekava IV, dengan penembakan rudal dari bunker tersembunyi. Hizbullah
juga menggunakan pesawat tanpa awak (drone) untuk berkomunikasi.
5.
Kelima,
penggunaan komunikasi dan propaganda. Pertumbuhan jejaring komunikasi massa
menawarkan alat propaganda dan rekrutmen yang kuat. ISIS, misalnya, dengan
piawai menggunakan berbagai media sosial untuk mempromosikan agenda dan
ideologinya. Berbagai gambar menunjukkan kehebatan ISIS disebar di media
sosial. Sedangkan dalam perang Israel-Hizbullah, Israel tidak kalah dalam
perang di medan tempur, namun kalah di perang informasi, karena persepsi yang
umum mendominasi bahwa militer Israel kalah. Hizbullah dianggap sukses bertahan
melawan pasukan Israel yang berjumlah lebih besar, meski basis Hizbullah
dihujani bom oleh pesawat tempur Israel.
6.
Keenam, sebuah
perang hibrida terjadi pada medan perang berbeda. Yakni, medan tempur
konvensional, penduduk asli yang berada di zona konflik, dan komunitas
internasional. Pasukan militer tradisional umumnya merasa sulit merespons
perang hibrida. Negara- negara yang menjadi bagain dari sistem pertahanan
kolektif (aliansi), seperti NATO, mungkin sulit mencapai kata sepakat tentang
sumber konflik yang muncul. Maka menimbulkan kesulitan untuk merespons serangan
musuh hibrida.
Ø Contoh Perang
Hibrida
Pada tahun 2014 muncul
kelompok eksterm ISIS sebagai aktor non-negara memanfaatkan taktik-taktik
hibrida untuk melawan pasukan militer konvensional Irak. ISIS memiliki aspirasi
transisional, menggunakan taktik reguler, dan ireguler, serta menerapkan teror
sebagai persenjataannya dalam konflik. Menanggapi langkah ISIS, otoritas Irak mulai beralih
menggunakan taktik hibrida, dengan memanfaatkan aktor-aktor internasional dan
non-negara, untuk mengimbangi gerakan ISIS.
Amerika sendiri adalah
peserta hibrida dalam konflik ini, melalui kombinasi kekuatan udara
tradisional, penyediaan penasihat bagi tentara-tentara Irak, pasukan Peshmerga
Kurdi, milisi sekretarian, dan memberi pelatihan pasukan oposisi di Suriah.
Perang hibrida di Irak
dan Suriah adalah konflik di mana terdapat kelompok aktor-aktor negara dan
non-negara yang saling berkaitan (interconnected), mengejar tujuan-tujuan yang
tumpang tindih, serta sebuah negara setempat yang lemah. Pasukan ini melibatkan
pemerintah, pasukan oposisi, dan negara-negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar